Sabtu, 15 September 2012

AVIAN INFLUENZA






AVIAN INFLUENZA

Kejadian Penyakit
Pada Januari 2004, di beberapa Propinsi di Indonesia terutama Bali, Jabotabek, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat dilaporkan kejadian kematian ayam ternak yang luar biasa yang disebabkan virus Avian Influenza. Penyebaran penyakit Avian Influenza jelas melintasi batas Negara, tetapi walau mewabah ke benua Asia, penyakit ini merupakan penyakit eksotis (belum pernah ada) di Indonesia. virus Avian Influenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasikan telah terjadi di Korea Selatan, Vietnam, Jepang, Hongkong, Belanda, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, China, Pakistan dan Indonesia. Jalur Pantura-Indonesia, Khususnya Kabupaten Indramayu bisa saja termasuk daerah terjangkit virus Avian Influenza karena wilayah udaranya selama ini menjadi jalur lalu lintas jutaan burung dari Australia atau Eropa dalam perjalanan migrasinya yang menempuh ribuan kilometer setiap penggantian musim (Anonimus, 2006).
Pada tahun 1997, virus Avian Influenza A serotipe H5N1 mewabah pada ayam dan burung peliharaan (itik, puyuh dan kalkun) di Hongkong. Di samping itu, virus Avian Influenza A subtipe H5N1 ditemukan pada sejumlah orang yang meninggal atau menunjukan gejala gangguan pernafasan setelah kontak dengan ayam yang terinfeksi oleh virus tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa virus Avian Influenza A bersifat zoonosis. Evaluasi lapangan menunjukan bahwa berbagai serotipe virus Avian influenza A dan kombinasi antigen permukaan H dan N dapat ditemukan pada itik dan mamalia. Virus Avian Influenza A bersifat tidak patogenik pada burung liar. Burung liar merupakan faktor penting dalam ekologi dari virus Avian Influenza (Tabbu, 2000).
Avian Influenza (AI) tersebar luas di seluruh dunia. Patogenesitas virus Avian Influenza (AI) yang bersifat viserotropik dan pansistemik bervariasi dan menyebabkan gangguan saluran pernafasan ringan, murung, nafsu makan hilang, depresi dan diare. Letupan AI secara sporadis mengakibatkan kerugian hebat pada produksi, operasional, dan biaya yang tinggi untuk pengendalian, pencegahan dan pemberantasan (Anonimus, 2004).
Epidemiologi Influenza unggas tidak banyak diketahui, dikarenakan peran unggas liar, keragaman yang besar dari galur yang berbeda, dan pengaruh yang beragam dari spesies inang yang berbeda . Avian Influenza (AI) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus Influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas dan menyerang sistem respirasi, pencernaan, atau system syaraf pada berbagai macam unggas dan burung (Anonimus, 2006).

Etiologi
Virus Influenza yang termasuk tipe A subtipe H5, H7, dan H9. Virus H9N2 tidak menyebabkan penyakit berbahaya pada burung, tidak seperti H5 dan H7. Virus Avian Influenza ini awalnya hanya ditemukan pada binatang seperti burung, bebek, dan ayam. Namun sejak 1997, virus ini mulai menular ke manusia (penyakit zoonosa). Serotipe yang ditemukan pada akhir tahun 2003 dan awal tahun 2004, baik pada unggas maupun pada pasien di Vietnam dan Thailand, adalah jenis H5N1 dan merupakan strain yang sangat ganas/virulen (Anonimus, 2006).
Avian Influenza (AI) disebabkan oleh virus Influenza yang tergolong famili Orthomyxoviridae, merupakan virus RNA dan mempunyai aktivitas hemaglutinin dan neuramidase. Virus Influenza terdiri atas 3 tipe berbeda, yaitu A, B, C. Setiap tipe dari virus Influenza ditentukan oleh struktur antigenic protein nuklei dan matriks antigen, yang saling berhubungan erat di antara virus Influenza tertentu. Virus Influenza A ditemukan pada unggas, manusia, babi, kuda, dan mamalia lain (cerpelai, anjing laut dan ikan paus). Virus Influenza B dan C hanya di temukan pada manusia (Tabbu, 2000).
Variasi antigenik virus Avian Influenza sangat tinggi, dan terjadi melalui 2 cara, yaitu drift dan shift. Drift antigenik terjadi dengan adanya perubahan struktur antigenik yang bersifat minor pada antigen permukaan H dan atau N. Shift antigenik terjadi dengan adanya perubahan struktur antigenik yang bersifat dominan pada antigen permukaan H dan /atau N. Virus pada unggas disimpulkan lebih jarang mengalami drift antigenik dibandingkan virus pada mamalia. Pengaturan kembali struktur genetik dari virus pada unggas dan mamalia diperkirakan merupakan mekanisme timbulnya strain ” baru ” virus pada menusia yang bersifat pandemik. Virus pada unggas dapat berperan pada perubahan struktur genetik virus Influenza pada manusia dengan menyumbangkan gen virus galur manusia (Tabbu, 2000).
Antigen HA bertanggung jawab dalam peletakan virion ke reseptor permukaan sel (sialiloligosakarida) dan dalam aktifitas hemoglutinasi dari virus enzim NA bertanggung jawab untuk pelepasan virus baru dari sel, melalui reaksinya terhadap asam neuraminit di reseptor. Antibodi terhadap NA juga penting, terutama dalam penyebaran virus dari sel yang terinfeksi (Easterday et al, 1997).
Nukleoprotein virus Influenza berbentuk simetri helix dengan genom ssRNA linier polaritas minus 13,6 kb dengan 8 segmen yang menjadi 10 protein yaitu 5 berstruktur, 3 berkaitan dengan polimerase dan 2 tidak bestruktur. Transkripsi dan replikasi RNA berlangsung pada inti (Fenner,1993).
Komposisi virion influenza terdiri dari 0,8-11% RNA, 70-75 % protein, 20-24% lemak dan 5-8 karbohidrat. Lemak berlokasi pada membran virus dan kebanyakan adalah phospolipid. Kolesterol dan glikolipid jumlahnya paling sedikit. Beberapa karbohidrat adalah ribose (pada RNA), galaktosa, monosa, fluktosa dan glukosamin. Glikoprotein atau glikolipia terutama terdapat dalam virion (Easterday et al., 1997).
Istilah fowl plaque kerap kali digunakan untuk menyatakan gejala klinik atau jenis virus yang berhubungan dengan mortalitas yang tinggi. Virus Influenza dengan antigen permukaan H5 atau H7 pada umumnya bersifat sangat patogenik. Virus Influenza tumbuh di dalam telur ayam bertunas umur 9–11 hari, di mana virus ini juga tumbuh pada kultur jaringan chicken embryo fibroblast (CEF) dan uji in vivo dapat dilakukan pada ayam, kalkun, itik (Tabbu, 2000).

Cara Penularan
Penularan virus Avian Influenza secara vertikal melalui telur masih dipertanyakan walaupun virus tersebut dapat di isolasi dari kerabang dan bagian dalam telur ayam yang terinfeksi virus Avian Influenza (Tabbu, 2000).
Sumber penularan virus Avian Influenza pada unggas adalah unggas air, serangga dan unggas yang terinfeksi virus Avian Influenza. Mereka sebagai reservoir penyakit dan memindahkan infeksi kepada kawanan atau unit komersial apabila biosekuritas di bawah standar. Unggas air merupakan sumber utama penularan Avian Influensa, selain unggas liar lainnya seperti kalkun dan unggas migran. Unggas air yang menjadi sumber penyakit AI, umumnya tidak memberi petunjuk adanya gejala-gejala terserang tapi akan mengeluarkan virus dalam jangka waktu lama, selain dapat tertular dengan lebih dari satu tipe dan tidak terbentuk antibodi. Pada kalkun yang terkena AI, virus tersebut dapat bertahan sampai beberapa bulan, virus dapat diisolasi dari telur kalkun. Hal ini menunjukan adanya pemindahan vertikal meskipun virusnya akan membunuh embrio (Whiteman and Bick Ford, 1983).
Penularan Avian Influenza terjadi melalui kontak langsung antara ayam sakit dengan ayam yang peka. Ayam yang terinfeksi mengeluarkan virus dari saluran pencernaan, konjungtiva dan feses. Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung, misalnya melalui udara yang tercemar oleh material/debu yang mengandung virus Influenza (aerosol), makanan/minuman, alat perlengkapan peternakan, kandang, kurungan ayam, pakaian, kendaraan, peti telur, egg troys, burung, mamalia, dan insekta yang mengandung atau tercemar oleh virus Avian Influenza. Sehubungan dengan cara penularan tersebut, maka virus Avian Influenza dapat disebarkan dengan mudah ke berbagai daerah oleh orang atau alat/perlengkapan dan kendaraan yang dipakai untuk memasarkan produk ternak unggas (Tabbu, 2000).
Hewan seperti unggas yang dapat hidup setelah terserang virus AI menjadi karier selama hidupnya dan sangat membahayakan, virus tersebut berreplikasi pada saluran pencernaan dan pernafasan dari unggas yang terinfeksi (Jordan 1990; Akoso: 1993 ).
Sedangkan pada tipe tertentu H, N, secara tipikal ditemukan pada babi, tetapi di AS ditemukan juga pada kalkun. Virus relatif resisten terhadap pengaruh lingkungan dan dapat menginfeksi ayam yang di tempatkan di kandang yang terkontaminasi. Infeksi tidak langsung terjadi melalui perpindahan ternak, peralatan dan pekerja, melalui angin yang menyebarkan debu dan bulu yang di cemari virus. Sedangkan infeksi lansung terjadi apabila terjadi kontak langsung antara ayam karier yang terinfeksi dengan ayam yang peka, yang sering dijumpai pada peternakan yang pelaksanaanya dengan sistem beragam umur (Anonimus, 2004).

Gejala Klinik Avian Influenza
Gejala klinik dari AI dapat di bedakan menjadi 2 bentuk. Bentuk pertama adalah bentuk ringan yang mengakibatkan lesu, ganguan pernafasan, batuk bersin, lakrimasi yang berlebihan, diare, kerontokan bulu, edema pada kepala dan muka, sianosis (kebiruan) pada daerah kulit yang tidak berbulu terutama pada jengger dan pial, gangguan saraf dan diare. Gejala ke 2 adalah bentuk akut oleh tipe Highly pathogenic avian influenza (HPAI) yang menyebabkan radang kantong hawa dan radang sinus dengan eksudat mengkeju. Ayam muda dapat tercekik karena sumbatan exsudat pada saluran pernafasan. Pada ayam bibit produksi telur turun secara cepat dan terjadi penurunan daya tetas, bentuk akut yang di tandai oleh perjalanan penyakit yang singkat dengan kematian yang tinggi dan mendadak tanpa di dahului oleh gelaja tertentu. Gejala terlihat dengan abnormalitas sistem respirasi, sistem pencernaan, sistem reproduksi dan sistem syaraf (Akoso, 1993 ; Easterday et al., 1997).
Virus Avian Influenza A dari berbagai subtipe dapat menimbulkan penyakit dengan derajat keparahan yang berbeda, mulai dari penyakit yang menyebabkan mortalitas yang tinggi dengan kematian yang mendadak tanpa didahului oleh gejala klinik tertentu atau hanya menunjukkan gejala yang ringan sampai pada bentuk penyakit yang sangat ringan atau tidak tampak secara klinis. Morbiditas AI sangat tinggi, sebaliknya mortalitas hanya rendah . Pada AI yang disebabkan virus yang sangat patogenik, maka morbiditas dan mortalitas dapat mencapai 100%. Mortalitas biasa meningkat antara 10-50 X dari hari sebelumnya dan mencapai puncaknya pada hari ke 6-7 setelah timbulnya gejala (Tabbu, 2000).
Gejala awal yaitu penurunan nafsu makan, emasiasi, penurunan produksi telur, gejala pernafasan seperti batuk, bersin, menjulurkan leher, hiperlakemasi, bulu kusam, edema mata dan kaki, sianosis (kebiruan) pada daerah kulit yang tidak berbulu, gangguan saraf dan diare. Gejala tersebut dapat berdiri sendiri /kombinasi (Easterday et al., 1997)
Faktor yang mempengaruhi patogenesisnya yaitu infeksi sekunder (virus penyakit Newcastel Disiase, berbagai bakteri mikoplasma dan lingkungan dengan ventilasi yang jelek dan terlalu banyak populasi).

Perubahan Patologik
Perubahan makroskopis
Menurut Tabbu (2000), perubahan makroskopis yang ditemukan pada unggas sangat bervariasi menurut lokasi lesi dan derajat keparahannya dan tergantung pada spesies unggas dan patogenisitasnya virus Avian Influenza yang terlibat, ada 2 macam bentuk yaitu :
Bentuk Ringan. Pada sekum atau pada usus di temukan adanya enteritis kataralis sampai fibrinus. Pada ayam petelur ditemukan adanya eksudat di dalam oviduk. Sedangkan pada sinus mungkin di temukan adanya campuran atau salah satu eksudat kataralis, fibrinus, serofibrinus, mukopurulen atau kaseus. Trakea akan menunjukkan adanya edema yang disertai pembentukan eksudat yang bervariasi dari sereus sampai kaseus. Kantong udara mungkin menebal dan mengandung eksudat fibrinus atau kaseus. Pada peritonium mugkin ditemukan adanya peritonitis dan egg peritonitis.
Bentuk Akut (HPAI). Pada sejumlah kasus HPAI dapat di temukan adanya kongesti, transudasi, nekrosis dan hemoragi. Berbagai subtipe virus Avian Influenza (H7N7, H5N1, H5N9 dan H5N2 ) dapat menimbulkan lesi pada stadium awal, yang meliputi edema pada kepala yang disertai oleh pembengkaan sinus; sianosis, kongesti dan hemorragik pada pial dan balung mungkin juga pada kaki. Jika penyakit ini melanjut, maka kerap kali akan di temukan adanya foki nekrotik pada hati, limpa, ginjal dan paru-paru.
Perubahan makroskopis pada ayam terlihat oleh adanya pembengkaan pada pial dan balung, yang disertai oleh edema periorbitalis. Lesi pada balung dapat berbentuk vesikula sampai kebengkaan yang ekstensif dan sianosis;ekimosis dan sekosis. Kadang-kadang ditemukan adanya kebengkaan pada kaki, yang disertai oleh bintik perdarahan ekimosis. Lesi pada organ viseral meliputi petekie pada berbagai permukaan serosa dan mukosa, terutama mukosa dan proventrikulus dekat perbatasan dengan ventrikulus. Pangkreas menunjukan adanya daerah yang berwarna merah tua dan kuning muda. Perubahan makroskopis pada unggas sering kali diikuti oleh lesi yang ditimbulkan oleh bakteri, sehingga perubahan yang ditemukan mungkin merupakan akibat dari infeksi virus Avian Influenza.
Secara umum terlihat adanya kongesti dan hemoragi di kulit , hati, jantung dan ginjal. Juga adanya transudasi dan nekrosis. Perubahan yang terjadi pada kasus virus yang sangat patogenik tidak jelas terlihat karena hewan mati mendadak sebelum lesi berkembang (Jordan, 1990).
Perubahan mikroskopis
Adanya lesi yang di timbulkan oleh fowl plaque di tandai oleh adanya edema, hiperima, hemorgik dan perivascular cuffing sel limfosid, terutama pada miokardium, limpa, paru, otak, balung dan dengan frekuansi yang lebih rendah pada hati dan ginjal. Perubahan degenerasi dan nekrosis dapat di temukan pada limpa, hati dan ginjal. Lesi pada otak meliputi foki nekrosis, perivasculer cuffing sel limfoid, gliosis, proliferasi pembuluh darah dan degenerasi/nekrosis neuron. Virus Avian Influenza yang sangat patogenik kerapkali menimbulkan nekrosis miokardium dan miokarditis.
Perubahan histopatologik yang disebabkan oleh virus HPAI mempunyai sejumlah persamaan dan perbedaan dengan lesi yang ditimbulkan oleh fowl plaque. Perubahan histopatologik pada ayam yang terinfeksi secara alami dengan virus Avian Influenza subtipe H5N2 (tergolong virus HPAI) meliputi ensefalitis;miositis nekrotikan subakut yang bersifat sangat ringan sampai berat pada berbagai otot skelet, terutama otot okuler eksternal dan otot paha. Perubahan histopatologik biasanya lebih parah pada ayam pedaging di bandingkan dengan petelur.

Diagnosis Penyakit
Dengan adanya gejala klinik dan perubahan patologik yang bervariasi, maka diagnosa definitif hanya di dasarkan atas isolasi dan identifikasi virus. Diagnosa sangkaan dapat di dasarkan atas riwayat kasus, gejala klinik, perubahan patologik dan tidak ada penyakit pernafasan lainnya. Isolasi virus dapat dilakukan pada telur ayam bertunas umur 10 - 11 hari menggunakan jaringan trakea dan atau kloaka dari unggas yang mati / hidup oleh karena virus Avian Influenza berreplikasi di dalam saluran respirasi dan atau pencernaan. Pemeriksaan serologik dapat dilakukan untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi terhadap virus Avian Influenza A yang dapat di amati pada hari ke-7 sampai ke-10 pasca-infeksi (Tabbu, 2000).
Pemeriksaan serologik yang sering di lakukan adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap hemaglutinin (H) dan agar gel presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuramidase (N). Uji serologik lain yaitu netralisasi virus (VN), neuromidase-inhibition (NI), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi monoklonal dan hibridisasi in situ. Pemeriksaan dengan teknik imunofluorescence langsung untuk mengetahui adanya virus Avian Influenza atau virus protein dari contoh jaringan kerapkali digunakan untuk melakukan diagnosa dengan cepat. Penyakit yang mirip dengan Avian Influenza adalah Newcastle disease (ND), Pigeon Paramyxovirus, Infectious Bronchitis (IB), Swolien Head Syndrome (SHS), Avian Mikoplasmosis (Tabbu, 2000).
Uji indeks patogenitas intraserebrum dan indeks patogenitas intravena, masing-masing pada anak ayam umur satu hari dan ayam umur enam minggu bisa menentukan tingkat virulensi. Karena virulensi virus Avian Influenza sebagian besar terkait dengan kemampuan yang luas dari sel inang untuk menyibak hemaglutinin virus, terbentuknya plak pada tipe sel yang permisif bagi virus virulen tetapi tidak permisif bagi virus yang tidak virulen dapat juga digunakan untuk menilai virulensi (Easterday et al., 1997).

Pengendalian dan Pengobatan
Pengendalian awal bertujuan mencegah masuknya virus Avian Influenza pada unggas. Tindakan legislatif meliputi karantina dan pengetatan perdagangan unggas dan produknya (tidak berlaku bagi unggas liar) (Easterday et al., 1997).
Pengendalian penyakit juga dapat dilakukan dengan memperbaiki sanitasi dan biosekuriti peternakan, yang termasuk hal tersebut adalah membatasi keluar masukya pekerja kandang, melakukan desinfektan terhadap alat-alat kandang dan kandang serta mengontrol yang akan masuk ke peternakan apakah terserang virus atau tidak (Anonim, 2006).
Avian Influenza tidak dapat di obati; pemberian antibiotik/antibakteri hanya ditujukan untuk mengobati infeksi sekunder oleh bakteri atau Mycoplasma. Disamping itu, perlu juga dilakukan pengobatan suportif dengan multivitamin untuk membantu proses rehabilitasi jaringan yang rusak (Tabbu, 2000).
Wabah HPAI eksotik dapat diberantas dengan menerapkan program yang intensif meliputi diagnosa cepat, membunuh dan membuang kawanan ayam yang terinfeksi, mengkarantina daerah yang tercemar dan pengawasan terus-menerus dengan membuang ayam yang menunjukkan adanya antibodi terhadap AI. Pembatasan pemindahan ayam dan produknya dari daerah terinfeksi harus diterapkan (Anonimus, 2006).
Di daerah yang sumber dayanya kurang sehingga eradikasi terhalang, kawanan ayam dapat diimunisasi dengan menggunakan vaksin inaktif autogenous atau produk recombinant vector. Vaksinansi akan menekan timbulnya penyakit secara klinis, tetapi virusnya tetap hidup dan bertahan pada populasi unggas di daerah tertular. Jika terjadi letupan virus Avian Influenza, sebaiknya dilakukan depopulasi pada unggas di daerah yang terkena meskipun infeksi terjadi oleh virus Avian Influenza yang mempunyai virulensi rendah. Setelah depopulasi, semua unggas dan produknya, termasuk feses harus dibakar atau diinsinerasi pada tempat khusus. Disamping depopulasi juga dilakukan karantina untuk mencegah penyebaran virus Avian Influenza ke peternakan atau daerah lainya. Proses eradikasi biasanya meliputi karantina, depopulasi, memusnahkan dan membersihkan unggas dan alat/perlengkapan yang terkait.


DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B T. 1993. Manual kesehatan unggas, Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluhan dan Peternak. Cetakan 1. Penerbit Kanisius . Yogyakarta.
Anonim.2004. Avian Influenca In National Animal Health Information System . http/www.aahc.com.au/nayis/disease/AI.htm
Anonim.2006. Avian Influenza. htp://www.litbang.deepkes.go id/maskes/05.
Easterday, B. C. Virginia S. Hinshaw, and David A. Halvorson. 1997. Influenza:in Disease of Poultry. Tenth edition. Lowa State University Press. Pages : 583-605
Fenner, J. F, E. P. J. Gibbs, F. A. Murphy, R. Rott, M. J. Student, and D. O. White. 1993. Virologi Veterinar. Penerjemah : D. K. H. Putra, K. G. Syaryana. IKIP Semarang Press. Semarang. Pages : 546-569.
Jordan, F. T. W. 1990. Poultry Disease. Third edition. E. L. B. S. ( English Language Book Society ) Hal : 137-144.
Tabbu, C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulanganya Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral. Cetakan Pertama, Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Whiteman, C. E. and A. A. Bickford. 1983. Avian Disease Manual. Second editions. University of Pennsylvania, New Bolton Center. Pennsylvania.

Kamis, 08 Desember 2011

Batik Sarimbit Murah

























BATIK SARIMBIT
Dress Dessy



KEMEJA BATIK :
Ukuran M : Panjang : 70cm Lingkar Dada : 108cm
Ukuran L : Panjang : 72cm Lingkar Dada : 110cm

DRESS PANJANG :
Ukuran Dress : Allsize
Lingkar dada : 90 - 100cm
Panjang : 95cm

Bahan : Printing

Harga : 215.000,-/pasang (belum ongkir)


CARA PEMESANAN:

1. NAMA–NO.HP–ALAMAT LENGKAP–KODE POS–NAMA BARANG & SIZE COWOK
kirim ke :
*) No. HP : 0812.5351.8785 / 0856.4300.0268
*) YM : jamal_23586@yahoo.com

2. Bila deal, langsung transfer sesuai harga yang yg disms, ke:
♣ BANK BCA, No. Rekening: 8610120751 a/n LIA SINGGIH PUSPITASARI
♣ BANK MANDIRI, No. Rekening: 1490005510153 a/n NUR ROSIDIN
♣ BANK CIMB Niaga, No. Rekening: 3240100314110 a/n NUR ROSIDIN

3. Konfirmasi transfer: nama lengkap – alamat lengkap – No. HP – Pesanan – jumlah transfer.

4. Barang DIKIRIM, melalui JNE & POSIndonesia

Jumat, 24 September 2010

Pengobatan Unggas

Program pebgobatan sebaiknya dilakukan jika ayam sudah terdeteksi secara dini terkena suatu penyakit. Jika infeksi sudah terlalu parah pengobatn akan sulit dilakukan karena membutuhkan waktu yang lama dan mahal, sehingga tidak efektif dan efisien. Bias juga peternak melakukan pengobatan secara terenfcana jika sebelumnya telah mengetaui sejarah penyakit yang sering terjadi di kawasan tersebut atau disekitar faram, contohnya: pemberian obat atau antibiotic melalui pakan.

Mendeteksi penyakit secara dini dapat dilakukan degnan cara mengamati perilaku ayam, konsumsi pakan dan air minum, kotoran yang dikeluarkan dan melakukan pengamatan paeda malam hari untuk mengetahui penyakit yang meyerang saluran pernafasan (ngorok). Jenos obat, dosis, dan lamanya pemberian obat sebaiknya disesuikan dengan rekomendasi yang tertera pada kemasan obat atau dikonsuktasikan dengan dokter hewan atau petugas kesehatan hewan.

Beberapa contoh antibiotik yang sering digunakan pada ayam, antara lain:

No.

Golongan

Bahan aktif

1.

sulfonamida

Sulfaquinoxaline

Sulfachloropynazine

Sulfapyrydozine

Sulfadimethoxine

Sulfamonomethoxine

2.

Tetracycline dan derivatnya

Chlortetracycline (CTC)

Oxytetracycline (OTC)

Doxycycline (DCL)

3.

Nitrofuran

Furazolidane

4.

Quinolon

Flumiquine

Enrofloxacine

Norfloxacine

Cyprofloxacine

Kegiatan Lainnya


  1. Menghindari stress

Stress erat kaitanya dengan system hormonal. Factor pemicu stress diantaranya: cuaca, vaksin, perlakuan. Pemicu stress akan direspon oleh otak besar (hypothalamus) yang memerintahkan otak kecil (pituitary) unutk menambah produksi hormone adenocortikotropik (ACTH). Selanjutnya hormone ACTH akan dibawa melalui peredaran darah menuju glandula adrenal yang memproduksi corticosteron. Adanya hormone ACTH menyebabkan kadar coticosteron tinggi sehingga menyebakan detak jantung bertamabah, takanan darah naik, konsumsi pakan turun, aktivitas seksual rendah, antibody yang diproduksi berkurang, daya pertumbuhan rendah, dan plasma glikogen rendah. Akibatnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit menjadi rendah.

Cara mencegah stress pada ayam:

- memberikan multivitamin dan elektrolit jika terjadi sesuatu yang menyebabkan ayam stress atau sebelum dan sesudah vaksinasi

- menghindari perlakuan kasar dan suara gaduh selama pemeliharaan

- melakukan ayam secara hati-hati dan tidak kasar selama vaksinasi

- mengusahakan lingkungan kandang tetap stabil, seperti perubahan temperature, peralatan, aktivitas sehari-hari dan petuga tidak berubah-ubah secra mendadak

- menempatkan peralatankandang secara tepat dan jumlahnya memadai

- menghindari tingginya gas ammonia


  1. Tata Laksana Pemeliharaan

Beberapa factor menejemen yang mempengaruhi terjadinya serangan penyakit pada ayam, antara lain:

- kualitas bibit

bibit ayam dipilih dari kualitas yang baik, bebas dari penyakit sesuai dengan standar tiap strain.

- system pemeliharaan

system pemeliharaan yang dianjurkan adalah system pemeliharaan system satu kali habis (all in all out system). Pada system ini pemeliharaan ayam dilakukan dengan memelihara satu grup ayam dalam 1 flock tanpa ada penambahan umur yang berbeda dalam flock tersebut. Kemudian di[anen bersamaan. System ini sering digunakan untuk ayam pedaging.

- kandang dan peralatan

kandang dan peralatan harus selalu bersih, karena kandang dan peralatan bisa menyebabkan stress pada ayam sehingga bias memicu morbiditas dan mortalitas

- pemberiann pakan dan minum

pemberian pakan harus dilakukan setiap hari sesuaidengan kebutuhan ayam, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Pemberian pakan yang salah bias memicu stress dan defisiensi salah satu nutrisi sehingga ayam banyak menemui masalah. Air minum untuk ayam harus bebas dari organisme penyebab penyakit dan memenuhi syarat kebanyakan air minum, baik secara bilogi, fisik maupun kimia.


  1. Test Darah

Test darah merupakan suatu program untuk mengontrol jenis penyakit. Pogram ini harus dilakukan secara teratur dan terjadwal, penyakit yang bias dideteksi dengan tes darah adalah penyakit yang disesbabkan oleh pullorum, thypoid, dan mycoplsma. Tes darah juga bias digunakan unutk mengetahui titer antibody ayam sehingga berhubungan erat dengan program vaksinasi yang sedang dijalankan.

Kamis, 23 September 2010

Swollen Head Syndrome

Swollen head syndrome (SHS) adalah suatu penyakit menular yang menyerang alat pernapasan unggas terutama ditemukan pada ayam pedaging (broiler) berumur 4-6 minggu. Kondisi ini disebabkan oleh infeksi gabungan antara Coronavirus, Escherichia coli dan Pneumovirus serta Staphylococcus. E. coli bertindak sebagai infeksi sekunder. Penyakit ini pada mulanya ditemukan di Afrika Selatan, tetapi sekarang diketahui telah berjangkit di berbagai negara. SHS disebut juga Avian Pneumovirus yang disebabkan oleh Pneumovirus single stranded yang berukuran 80-200 nm RNA virus. Pneumovirus termasuk subfamily Pneumovirinae dan family Paramyxoviridae.


GEJALA KLINIS

Unggas yang terserang penyakit ini menunjukkan gejala bersin diikuti oleh kemerah-merahan dan pembengkakan kelenjar lakrimalis. Kebengkakan juga terjadi pada tepi mata yang melanjut ke kepala dan menurun sampai gelambir bawah dalam waktu 24-36 jam. Unggas yang terserang penyakit ini biasanya menggaruk mukanya dengan kaki. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian dalam waktu 5-10 hari. Virus yang sama dapat menyerang ayam dewasa dan mengakibatkan penurunan produksi telur.


PERUBAHAN PASCAMATI

Unggas yang terserang mengalami perdarahan titik dan bendung pada selaput lendir sekat rongga hidung. Apabila kulit bagian muka dibuka, akan terlihat busung dan bernanah.


DIAGNOSIS

Kepastian diagnosis didasarkan pada gejala klinis dan mengidentifikasi virus Corona dari sekat hidung. Gejala klinis dapat dikacaukan oleh Newcastle disease (ND) dan snot. Untuk pemeriksaan laboratorium sebaiknya dikirimkan ayam sakit yang masih hidup.


KEJADIAN DI INDONESIA

Akhir-akhir ini, penyakit ditemukan pada ayam broiler terutama di Jawa yang mengakibatkan angka kematian dan kesakitan cukup tinggi.


PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN

Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi melalui tetes mata, tetapi vaksin ini belum tersedia di Indonesia. Pengobatan dapat dilakukan dengan preparat sulfa, nitrofuran atau oksitetrasiklin untuk menurunkan kejadian infeksi.

Ayam penderita dapat dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi. Sisa pemotongan harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dibakar. Lesi bagian kepala yang sudah melanjut harus dibuang dan dimusnahkan.

Rabu, 20 Januari 2010

Colibacillosis

Colibacillosis dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, meliputi kematian embrio pada telur tetas, infeksi yolk sac, omfalitis, koliseptisemia, air sacculitis, enteritis, infeksi alat reproduksi (ooforitis, salpingitis), koligranuloma, arthritis, dan bursitis sternalis. Pada kondisi lapangan, Colibacillosis lebih dikenal berdasarkan bentuk khusus menonjol pada suatu kasus tertentu, misalnya koliseptisemia, infeksi yolk sac Tabbu (2000).


Kejadian Penyakit

Berbagai serotipe E.coli dapat menginfeksi sebagian besar mamalia dan unggas. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini paling banyak dilaporkan pada ayam, kalkun dan itik. Kuman E. coli merupakan penghuni normal di dalam saluran pencernaan ayam sehingga adanya bakteri tersebut di dalam air minum merupakan suatu petunjuk tentang pencemaran oleh feses. Pada ayam yang sehat, sekitar 10%-15% dari seluruh E.coli yang ditemukan di dalam usus tergolong serotipe yang patogen. Bagian usus yang terbanyak mengandung kuman tersebut adalah usus halus bagian tengah (jejunum), bagian bawah (ileum) dan sekum. Jenis E. coli yang terdapat di dalam usus tidak selalu sama dengan jenis yang ditemukan pada jaringan lain misalnya pada saluran pernafasan atau kantong jantung pada ayam yang sama. Kuman tersebut ditemukan juga dalam esophagus dan trakea (Tabbu, 2000).

Bakteri E. coli dapat menyebabkan penyakit primer pada ayam, tetapi dapat juga bersifat sekunder mengikuti penyakit lainnya yaitu Gumboro, CRD, Snot, SHS, ILT dan Koksidiosis. Faktor pendukung timbulnya Colibacillosis, meliputi sanitasi/desinfeksi yang suboptimal, sumber air minum yang tercemar bakteri, sistem perkandangan dan peralatan kandang yang kurang memadai, dan adanya berbagai penyakit yang bersifat imunosupresif. (Akoso, 1993 dan Tabbu, 2000).


Penyebab

Penyebab utama penyakit Colibacillosis adalah bakteri Escherichia coli galur patogen. Eksotoksin yang dihasilkan oleh beberapa strain mengakibatkan hipersekresi air dan khlorida ke dalam lumen usus, menghambat penyerapan kembali Natrium, dan akibatnya usus menjadi teregang, pergerakan berlebihan (Murtidjo, 1992). Escherichia coli adalah bakteri Gram negatif yang tidak tahan asam, tercat uniform, berbentuk batang, tidak membentuk spora, motil, mempunyai flagela dan berukuran 2-3 x 0,6µm. Escherichia coli disebut juga pathogen oportunis karena penyakit yang ditimbulkanya biasanya bersifat sekunder mengikuti stress atau penyakit lain. Bakteri ini dapat tumbuh pada berbagai media yang lazim digunakan untuk mengisolasi bakteri dan membutuhkan temperatur 18oC-44oC atau lebih rendah (Retno, dkk., 1998 dan Tabbu, 2000).

Bakteri E. coli yang bersifat patogen mempunyai struktur dinding sel yang disebut pili, yang tidak ditemukan pada serotype yang tidak patogen. Faktor virulensi dipengaruhi oleh ketahanan terhadap fagositosis, kemampuan perlekatan dengan epithel saluran nafas dan ketahanan terhadap daya bunuh antibodi tubuh. Serotype yang banyak menyebabkan penyakit pada unggas adalah 01, 02, 035 dan 078 (Tabbu, 2000). Escherichia coli mempunyai struktur antigenik O, K dan H. Bakteri ini banyak sekali terdapat di usus bagian belakang dan keluar dari tubuh bersama-sama tinja dalam jumlah besar. Di dalam tinja bakteri tahan sampai beberapa minggu, tetapi tidak tahan kekeringan dan desinfektan (antisep, neoantisep, medisep, formades atau sporades) (Retno, dkk., 1998).


Penularan

Bakteri E. coli dapat ditemukan di dalam litter, kotoran ayam, debu atau kotoran lain disekitar kandang, pakan dan minuman/sumber air seperti sumur. Bakteri dapat bertahan lama dalam kandang, terutama dalam keadaan kering. E.coli dapat juga ditemukan di dalam feses rodensia, hewan/burung liar, manusia dan insekta. Penularan dapat terjadi secara vertikal (kontak langsung antara ayam yang sakit dengan ayam yang sensitif) dan horizontal (secara tidak langsung melalui kontak antara ayam yang sensitif dengan bahan yang tercemar oleh leleran tubuh atau feses ayam yang menderita Colibasillosis). Penularan secara oral melalui pakan dan minuman, secara per inhalasi melalui debu/udara yang mengandung bakteri E.coli (Retno, dkk., 1998 dan Tabbu, 2000).

Infeksi dapat terjadi pada unggas segala umur, hewan muda lebih rentan dibandingkan dengan ayam yang lebih tua. Penyakit ini sering dijumpai pada kelompok ayam yang dipelihara di lingkungan yang kurang bersih (Akoso, 1993). Penularan E. coli terjadi melalui telur tetas dan dapat menyebabkan kematian dini yang tinggi pada anak ayam. Sumber penularan terpenting pada telur adalah feses yang mengandung E. coli, yang menyebabkan pencemaran pada permukaan telur dan akhirnya kuman tersebut akan menembus kerabang dan selaput telur. Pencemaran pada telur dengan E. coli dapat terjadi melalui ovarium ataupun oviduk yang terinfeksi oleh kuman tersebut (Tabbu, 2000).


Gejala Klinis

Gejala klinis pada ayam yang terserang umumnya nampak ringan seperti kotoran ayam encer dan berwarna kuning. Gangguan produksi dan pertumbuhan ayam hampir tidak terlihat. Tetapi penyakit ini akan berbahaya, bila ada infeksi sekunder (Murtidjo, 1992). Ayam menjadi kurus, bulu disekitar pantat kusam, nafsu makan menurun, murung, diare dan bulunya kotor. Kematian ayam terbanyak biasanya terjadi pada anak ayam berumur 5 hari (Akoso, 1993 dan Rukmana, 2003).


Menurut Tabbu (2000), secara khusus gejala klinis dan perubahan patologik sesuai dengan bentuk Colibasillosis yaitu sebagai berikut :

Kematian embrio, infeksi yolk sac dan omfalitis. Gejala klinisnya adalah anak ayam terlihat lesu, lemah, perut membesar, tubuh terasa empuk, cenderung didekat pemanas dan berkhir dengan kematian. Gejala lain anoreksia, bulu berdiri, kadang disertai diare. Perubahan patologi makroskopisnya yaitu kandungan yolk sac menjadi lebih encer, belum terserap, ukuran lebih besar dari normal dan berwarna kuning coklat atau seperti keju dan berbau busuk. Terjadi kongesti pada karkas dan subcutan. Perubahan mikroskopisnya yaitu dinding yolksac terlihat edematus, adanya zona jaringan ikat dibagian luar, diikuti lapisan sel radang (heterofil dan makrofag). Umbilikus terdapat zona necrosis, kongesti pembuluh darah dan edema. Juga terjadi perubahan pada hati dan usus.

Koliseptisemia. Gejala klinisnya adalah penurunan nafsu makan yang diikuti kelesuan dan bulu berdiri. Peningkatan frekuensi nafas dan bernafas dengan mulut kadang ngorok. Pertumbuhan/berat badan tidak merata dan penurunan produksi. Perubahan patologi makroskopisnya yaitu organ ginjal membesar dan berwarna merah hitam, kantung empedu juga membesar, jantung kongesti terasa empuk, diruang pericardium terdapat cairan kekuningan. Ditemukan pula keadaan arsacculitis, perihepatitis fibrinosa, pericarditis dan peritonitis. Perubahan mikroskopis nya adalah lesi pada ginjal dalam bentuk kongesti pembuluh darah dan infiltrasi heterofil, juga terjadi pada organ hati. Pada kasus yang melanjut akan dijumpai adanya daerah necrosis disertai infiltrasi heterofil, limfosit, makrofag dan pembentukan giant sel. Terlihat juga adanya proliferasi fibroblast dan kumpulan hancuran heterofil bercampur eksudat kaseos, pembentukan folikel limfoid dan hiperplasia epitel.

Airsacculitis (radang kantung udara). Kerusakan juga terjadi pada jaringan/organ pernafasan dan biasanya juga diikuti dengan perihepatitis dan perikarditis.

Enteritis. Dapat ditemukan bentuk enteritis kataralis di tandai isi usus encer, kekuningan dan bercampur busa. Perubahan patologi makroskopisnya adalah mukosa usus kongesti dan kadang terjadi deskuamasi akibat endotoksin oleh E.coli. Perubahan mikroskopisnya yaituA adanya infiltrasi sel radang dan runtuhan sel epihel usus.


Kolibasilosis dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Perubahan makroskopik dan mikroskopik berbagai sindroma dari E. coli yang terisolasi adalah :

1. Omfalitis

Perubahan yang mencolok adalah yolk sac belum terserap, ukurannya lebih besar dari normal dengan isi, viskositas dan warna yang abnormal. Isi yolk sac yang semula kental dan berwarna kuning kehijauan menjadi encer, hijau kecoklatan, dan berbau tidak sedap, dapat pula menjadi lebih kental menyerupai keju. Secara mikroskopik, dinding yolk sac akan terlihat edematus disertai oleh penebalan akibat adanya zona jaringan ikat di bagian luar, diikuti berturut-turut oleh lapisan sel radang yang terdiri atas heterofil dan makrofag, kumpulan giant cells, zona heterofil yang mengalami nekrosis bercampur gumpalan bakteri dan di bagian dalam akan terlihat isi yolk sac. Pada sejumlah kasus dapat juga ditemukan adanya beberapa sel plasma di dalam yolk sac.

2. Koliseptisemia

Pada kolibasilosis bentuk koliseptisemia ditemukan perihepatitis fibrinosa yang ditandai oleh permukaan hati yang tertutup oleh suatu selaput berfibrin berwarna kelabu. Perikarditis fibrinosa ditandai dengan perikardium yang menebal, berwarna kelabu dan melekat pada dinding jantung. Ginjal akan membesar dan berwarna kehitaman akibat fungsinya menyaring toksin yang dihasilkan E. coli. Air sac yang terinfeksi akan terlihat menebal dan kadang-kadang terdapat eksudat kaseus pada permukaan. Secara mikroskopik akan terlihat penebalan kapsula Glissoni hepar akibat infiltrasi heterofil, limfosit dan proliferasi fibroblas dan adanya daerah nekrosis multifokal, yang disertai oeleh infiltrasi heterofil dan limfosit. pericarditis terjadi megikuti septikemia dan biasanya diikuti dengan myocarditis. Pada awal infeksi akan terlihat adanya heterofil pada epikardium, pada kondisi melanjut akan tampak makrofag. Pada bagian myocardium yang berbatasan dengan epikardium akan terlihat akumulasi limfosit.

3. Airsacculitis

Infeksi pada air sac biasanya diikuti perikarditis dan perihepatitis. Air sac menebal dan sering terdapat eksudat kaseus. Secara mikroskopik, lesi mengandung edema dan infiltrasi heterofil. Terdapat banyak proliferasi fibroplastik dan akumulasi sejumlah besar heterofil nekrotik di dalam eksudat kaseus.

4. Enteritis

Isi usus terlihat encer, kekuningan dan bercampur busa. Mukosa usus mengalami kongesti dan kadang-kadang mengalami deskuamasi.


Diagnosa

Diagnosa secara pasti dilakukan di laboratorium dengan isolasi dan identifikasi bakteri penyebab penyakit yang didukung oleh perubahan jaringan yang menciri. Untuk keperluan pemeriksaan laboratoris, jaringan yang mengalami perubahan terutama usus, hati dan paru dikirimkan dalam keadaan segar dingin dan setengahnya dikirim dalam formalin 10%. Beberapa serotipe dari basil Escherichia coli dapat selalu bersifat patogen. Diagnosa juga didasarkan pada gejala klinis yang tampak (Akoso, 1993 dan Tabbu, 2000).


Pengendalian

Pengendalian yang efektif terhadap penyakit Colibacillosis adalah mengusahakan agar jumlah ayam dalam 1 kandang tidak terlalu padat, pengaturan ventilasi dan temperatur yang baik serta perbaikan sanitasi kandang (Murtidjo, 1992). Bisa juga diberi ronaxan dosis 1 –2 gr/L air minum atau mycomas dosis 0,5 ml/L air minum selama 3-5 hari berturut-turut (Rukmana, 2003).

Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan yang memiliki daya serap usus tinggi. Misalnya diberi Coccilin water soluble powder sebanyak 1 gr yang dicampur dalam 1 liter air minum, diberikan selama 5 hari berturut-turut (Murtidjo, 1992). Menurut Retno, dkk. (1998), pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan (1). Melakukan sanitasi kandang dan peralatan (dengan antisep, formades atau sporades), mencegah tamu, hewan liar dan hewan peliharaan lain masuk ke lingkungan kandang. Desinfeksi tempat minum dilakukan 4 hari sekali, mengatur jadwal desinfeksi dan vaksinasi. (2). Usaha peternakan dikelola dengan baik agar nyaman, jumlah ayam tidak terlalu padat, ventilasi kandang cukup dan diusahakan agar amonia kurang di dalam kandang. (3). Sanitasi tempat minum 2 kali sehari. Rendam tempat minum yang telah dicuci dalam medisep 25 ml tiap 10 L selama 30 menit, setiap 4 hari sekali. (4). Cegah litter menjadi sangat kering dan berdebu dengan tidak memasang liter terlalu tebal (ketebalan litter cukup 7-12 cm). (5) ayam yang terserang penyakit saluran pernafasan segera diobati supaya cepat sembuh.


Pengobatan

Pada infeksi ringan dapat dilakukan pengobatan dengan antibiotik. Pada infeksi yang berat biasanya pengobatan kurang memberikan hasil maksimal. Ayam yang menunjukan gejala penyakit lebih baik secepatnya diisolasi dari kelompoknya (Tabbu, 2000). Pengobatan dimulai dari perbaikan sanitasi lingkungan, pakan dan air. Dokter hewan akan menetapkan penggunaan nitrofurans bila terjadi septisemia atau menggunakan neomisin bila terjadi diare dan radang usus (Akoso, 1993). Ayam yang menderita diobati Coccilin capsul. Untuk ayam usia 1-5 minggu diberi 1/3 capsul, sedangkan usia lebih dari 10 minggu diberi 1 capsul. Pemberian obat dilakukan 4 hari berturut-turut (Murtidjo, 1992). Obat lain yang digunakan adalah coliquin, dextrin, koleridin, tetra-chlor, medoxy, sulfamix, trimezyn, neo meditril, doctril atau respiratrex (pilih salah satu dan berikan sesuai aturan pakai). Berikan vita stress 4-5 hari setelah pengobatan selesai, untuk membantu proses persembuhan penyakit (Retno, dkk., 1998).