AVIAN
INFLUENZA
Kejadian Penyakit
Pada Januari 2004, di beberapa
Propinsi di Indonesia terutama Bali, Jabotabek, Jawa Timur, Jawa Tengah dan
Kalimantan Barat dilaporkan kejadian kematian ayam ternak yang luar biasa yang
disebabkan virus Avian Influenza. Penyebaran penyakit Avian Influenza jelas
melintasi batas Negara, tetapi walau mewabah ke benua Asia, penyakit ini
merupakan penyakit eksotis (belum pernah ada) di Indonesia. virus Avian
Influenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasikan telah terjadi di Korea
Selatan, Vietnam, Jepang, Hongkong, Belanda, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos,
China, Pakistan dan Indonesia. Jalur Pantura-Indonesia, Khususnya Kabupaten
Indramayu bisa saja termasuk daerah terjangkit virus Avian Influenza karena
wilayah udaranya selama ini menjadi jalur lalu lintas jutaan burung dari
Australia atau Eropa dalam perjalanan migrasinya yang menempuh ribuan kilometer
setiap penggantian musim (Anonimus, 2006).
Pada tahun 1997, virus Avian
Influenza A serotipe H5N1 mewabah pada ayam dan burung peliharaan (itik, puyuh
dan kalkun) di Hongkong. Di samping itu, virus Avian Influenza A subtipe H5N1
ditemukan pada sejumlah orang yang meninggal atau menunjukan gejala gangguan
pernafasan setelah kontak dengan ayam yang terinfeksi oleh virus tersebut. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa virus Avian Influenza A bersifat zoonosis. Evaluasi
lapangan menunjukan bahwa berbagai serotipe virus Avian influenza A dan
kombinasi antigen permukaan H dan N dapat ditemukan pada itik dan mamalia.
Virus Avian Influenza A bersifat tidak patogenik pada burung liar. Burung liar
merupakan faktor penting dalam ekologi dari virus Avian Influenza (Tabbu,
2000).
Avian Influenza (AI) tersebar
luas di seluruh dunia. Patogenesitas virus Avian Influenza (AI) yang bersifat
viserotropik dan pansistemik bervariasi dan menyebabkan gangguan saluran
pernafasan ringan, murung, nafsu makan hilang, depresi dan diare. Letupan AI
secara sporadis mengakibatkan kerugian hebat pada produksi, operasional, dan
biaya yang tinggi untuk pengendalian, pencegahan dan pemberantasan (Anonimus,
2004).
Epidemiologi Influenza unggas
tidak banyak diketahui, dikarenakan peran unggas liar, keragaman yang besar
dari galur yang berbeda, dan pengaruh yang beragam dari spesies inang yang
berbeda . Avian Influenza (AI) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh virus Influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas dan menyerang sistem
respirasi, pencernaan, atau system syaraf pada berbagai macam unggas dan burung
(Anonimus, 2006).
Etiologi
Virus Influenza yang termasuk
tipe A subtipe H5, H7, dan H9. Virus H9N2 tidak menyebabkan penyakit berbahaya
pada burung, tidak seperti H5 dan H7. Virus Avian Influenza ini awalnya hanya
ditemukan pada binatang seperti burung, bebek, dan ayam. Namun sejak 1997,
virus ini mulai menular ke manusia (penyakit zoonosa). Serotipe yang ditemukan
pada akhir tahun 2003 dan awal tahun 2004, baik pada unggas maupun pada pasien
di Vietnam dan Thailand, adalah jenis H5N1 dan merupakan strain yang sangat
ganas/virulen (Anonimus, 2006).
Avian Influenza (AI) disebabkan
oleh virus Influenza yang tergolong famili Orthomyxoviridae, merupakan virus
RNA dan mempunyai aktivitas hemaglutinin dan neuramidase. Virus Influenza
terdiri atas 3 tipe berbeda, yaitu A, B, C. Setiap tipe dari virus Influenza
ditentukan oleh struktur antigenic protein nuklei dan matriks antigen, yang
saling berhubungan erat di antara virus Influenza tertentu. Virus Influenza A
ditemukan pada unggas, manusia, babi, kuda, dan mamalia lain (cerpelai, anjing
laut dan ikan paus). Virus Influenza B dan C hanya di temukan pada manusia
(Tabbu, 2000).
Variasi antigenik virus Avian
Influenza sangat tinggi, dan terjadi melalui 2 cara, yaitu drift dan shift.
Drift antigenik terjadi dengan adanya perubahan struktur antigenik yang
bersifat minor pada antigen permukaan H dan atau N. Shift antigenik terjadi
dengan adanya perubahan struktur antigenik yang bersifat dominan pada antigen
permukaan H dan /atau N. Virus pada unggas disimpulkan lebih jarang mengalami
drift antigenik dibandingkan virus pada mamalia. Pengaturan kembali struktur
genetik dari virus pada unggas dan mamalia diperkirakan merupakan mekanisme
timbulnya strain ” baru ” virus pada menusia yang bersifat pandemik. Virus pada
unggas dapat berperan pada perubahan struktur genetik virus Influenza pada
manusia dengan menyumbangkan gen virus galur manusia (Tabbu, 2000).
Antigen HA bertanggung jawab
dalam peletakan virion ke reseptor permukaan sel (sialiloligosakarida) dan
dalam aktifitas hemoglutinasi dari virus enzim NA bertanggung jawab untuk pelepasan
virus baru dari sel, melalui reaksinya terhadap asam neuraminit di reseptor.
Antibodi terhadap NA juga penting, terutama dalam penyebaran virus dari sel
yang terinfeksi (Easterday et al, 1997).
Nukleoprotein virus Influenza
berbentuk simetri helix dengan genom ssRNA linier polaritas minus 13,6 kb
dengan 8 segmen yang menjadi 10 protein yaitu 5 berstruktur, 3 berkaitan dengan
polimerase dan 2 tidak bestruktur. Transkripsi dan replikasi RNA berlangsung
pada inti (Fenner,1993).
Komposisi virion influenza
terdiri dari 0,8-11% RNA, 70-75 % protein, 20-24% lemak dan 5-8 karbohidrat.
Lemak berlokasi pada membran virus dan kebanyakan adalah phospolipid.
Kolesterol dan glikolipid jumlahnya paling sedikit. Beberapa karbohidrat adalah
ribose (pada RNA), galaktosa, monosa, fluktosa dan glukosamin. Glikoprotein
atau glikolipia terutama terdapat dalam virion (Easterday et al., 1997).
Istilah fowl plaque kerap kali
digunakan untuk menyatakan gejala klinik atau jenis virus yang berhubungan
dengan mortalitas yang tinggi. Virus Influenza dengan antigen permukaan H5 atau
H7 pada umumnya bersifat sangat patogenik. Virus Influenza tumbuh di dalam
telur ayam bertunas umur 9–11 hari, di mana virus ini juga tumbuh pada kultur
jaringan chicken embryo fibroblast (CEF) dan uji in vivo dapat dilakukan pada
ayam, kalkun, itik (Tabbu, 2000).
Cara Penularan
Penularan virus Avian Influenza
secara vertikal melalui telur masih dipertanyakan walaupun virus tersebut dapat
di isolasi dari kerabang dan bagian dalam telur ayam yang terinfeksi virus
Avian Influenza (Tabbu, 2000).
Sumber penularan virus Avian
Influenza pada unggas adalah unggas air, serangga dan unggas yang terinfeksi
virus Avian Influenza. Mereka sebagai reservoir penyakit dan memindahkan
infeksi kepada kawanan atau unit komersial apabila biosekuritas di bawah
standar. Unggas air merupakan sumber utama penularan Avian Influensa, selain
unggas liar lainnya seperti kalkun dan unggas migran. Unggas air yang menjadi
sumber penyakit AI, umumnya tidak memberi petunjuk adanya gejala-gejala
terserang tapi akan mengeluarkan virus dalam jangka waktu lama, selain dapat
tertular dengan lebih dari satu tipe dan tidak terbentuk antibodi. Pada kalkun
yang terkena AI, virus tersebut dapat bertahan sampai beberapa bulan, virus
dapat diisolasi dari telur kalkun. Hal ini menunjukan adanya pemindahan
vertikal meskipun virusnya akan membunuh embrio (Whiteman and Bick Ford, 1983).
Penularan Avian Influenza terjadi
melalui kontak langsung antara ayam sakit dengan ayam yang peka. Ayam yang
terinfeksi mengeluarkan virus dari saluran pencernaan, konjungtiva dan feses.
Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung, misalnya melalui udara yang
tercemar oleh material/debu yang mengandung virus Influenza (aerosol),
makanan/minuman, alat perlengkapan peternakan, kandang, kurungan ayam, pakaian,
kendaraan, peti telur, egg troys, burung, mamalia, dan insekta yang mengandung
atau tercemar oleh virus Avian Influenza. Sehubungan dengan cara penularan
tersebut, maka virus Avian Influenza dapat disebarkan dengan mudah ke berbagai
daerah oleh orang atau alat/perlengkapan dan kendaraan yang dipakai untuk
memasarkan produk ternak unggas (Tabbu, 2000).
Hewan seperti unggas yang dapat
hidup setelah terserang virus AI menjadi karier selama hidupnya dan sangat
membahayakan, virus tersebut berreplikasi pada saluran pencernaan dan
pernafasan dari unggas yang terinfeksi (Jordan 1990; Akoso: 1993 ).
Sedangkan pada tipe tertentu H,
N, secara tipikal ditemukan pada babi, tetapi di AS ditemukan juga pada kalkun.
Virus relatif resisten terhadap pengaruh lingkungan dan dapat menginfeksi ayam
yang di tempatkan di kandang yang terkontaminasi. Infeksi tidak langsung
terjadi melalui perpindahan ternak, peralatan dan pekerja, melalui angin yang
menyebarkan debu dan bulu yang di cemari virus. Sedangkan infeksi lansung
terjadi apabila terjadi kontak langsung antara ayam karier yang terinfeksi
dengan ayam yang peka, yang sering dijumpai pada peternakan yang pelaksanaanya
dengan sistem beragam umur (Anonimus, 2004).
Gejala Klinik Avian
Influenza
Gejala klinik dari AI dapat di
bedakan menjadi 2 bentuk. Bentuk pertama adalah bentuk ringan yang
mengakibatkan lesu, ganguan pernafasan, batuk bersin, lakrimasi yang
berlebihan, diare, kerontokan bulu, edema pada kepala dan muka, sianosis
(kebiruan) pada daerah kulit yang tidak berbulu terutama pada jengger dan pial,
gangguan saraf dan diare. Gejala ke 2 adalah bentuk akut oleh tipe Highly
pathogenic avian influenza (HPAI) yang menyebabkan radang kantong hawa dan
radang sinus dengan eksudat mengkeju. Ayam muda dapat tercekik karena sumbatan
exsudat pada saluran pernafasan. Pada ayam bibit produksi telur turun secara
cepat dan terjadi penurunan daya tetas, bentuk akut yang di tandai oleh
perjalanan penyakit yang singkat dengan kematian yang tinggi dan mendadak tanpa
di dahului oleh gelaja tertentu. Gejala terlihat dengan abnormalitas sistem
respirasi, sistem pencernaan, sistem reproduksi dan sistem syaraf (Akoso, 1993
; Easterday et al., 1997).
Virus Avian Influenza A dari
berbagai subtipe dapat menimbulkan penyakit dengan derajat keparahan yang
berbeda, mulai dari penyakit yang menyebabkan mortalitas yang tinggi dengan
kematian yang mendadak tanpa didahului oleh gejala klinik tertentu atau hanya
menunjukkan gejala yang ringan sampai pada bentuk penyakit yang sangat ringan
atau tidak tampak secara klinis. Morbiditas AI sangat tinggi, sebaliknya
mortalitas hanya rendah . Pada AI yang disebabkan virus yang sangat patogenik,
maka morbiditas dan mortalitas dapat mencapai 100%. Mortalitas biasa meningkat
antara 10-50 X dari hari sebelumnya dan mencapai puncaknya pada hari ke 6-7
setelah timbulnya gejala (Tabbu, 2000).
Gejala awal yaitu penurunan nafsu
makan, emasiasi, penurunan produksi telur, gejala pernafasan seperti batuk,
bersin, menjulurkan leher, hiperlakemasi, bulu kusam, edema mata dan kaki,
sianosis (kebiruan) pada daerah kulit yang tidak berbulu, gangguan saraf dan
diare. Gejala tersebut dapat berdiri sendiri /kombinasi (Easterday et al.,
1997)
Faktor yang mempengaruhi
patogenesisnya yaitu infeksi sekunder (virus penyakit Newcastel Disiase,
berbagai bakteri mikoplasma dan lingkungan dengan ventilasi yang jelek dan
terlalu banyak populasi).
Perubahan Patologik
Perubahan
makroskopis
Menurut Tabbu (2000), perubahan
makroskopis yang ditemukan pada unggas sangat bervariasi menurut lokasi lesi
dan derajat keparahannya dan tergantung pada spesies unggas dan
patogenisitasnya virus Avian Influenza yang terlibat, ada 2 macam bentuk yaitu
:
Bentuk
Ringan. Pada sekum atau pada usus di temukan adanya enteritis kataralis sampai
fibrinus. Pada ayam petelur ditemukan adanya eksudat di dalam oviduk. Sedangkan
pada sinus mungkin di temukan adanya campuran atau salah satu eksudat
kataralis, fibrinus, serofibrinus, mukopurulen atau kaseus. Trakea akan
menunjukkan adanya edema yang disertai pembentukan eksudat yang bervariasi dari
sereus sampai kaseus. Kantong udara mungkin menebal dan mengandung eksudat
fibrinus atau kaseus. Pada peritonium mugkin ditemukan adanya peritonitis dan
egg peritonitis.
Bentuk
Akut (HPAI). Pada sejumlah kasus HPAI dapat di temukan adanya kongesti,
transudasi, nekrosis dan hemoragi. Berbagai subtipe virus Avian Influenza
(H7N7, H5N1, H5N9 dan H5N2 ) dapat menimbulkan lesi pada stadium awal, yang
meliputi edema pada kepala yang disertai oleh pembengkaan sinus; sianosis,
kongesti dan hemorragik pada pial dan balung mungkin juga pada kaki. Jika
penyakit ini melanjut, maka kerap kali akan di temukan adanya foki nekrotik
pada hati, limpa, ginjal dan paru-paru.
Perubahan
makroskopis pada ayam terlihat oleh adanya pembengkaan pada pial dan balung,
yang disertai oleh edema periorbitalis. Lesi pada balung dapat berbentuk
vesikula sampai kebengkaan yang ekstensif dan sianosis;ekimosis dan sekosis.
Kadang-kadang ditemukan adanya kebengkaan pada kaki, yang disertai oleh bintik
perdarahan ekimosis. Lesi pada organ viseral meliputi petekie pada berbagai
permukaan serosa dan mukosa, terutama mukosa dan proventrikulus dekat
perbatasan dengan ventrikulus. Pangkreas menunjukan adanya daerah yang berwarna
merah tua dan kuning muda. Perubahan makroskopis pada unggas sering kali
diikuti oleh lesi yang ditimbulkan oleh bakteri, sehingga perubahan yang
ditemukan mungkin merupakan akibat dari infeksi virus Avian Influenza.
Secara umum terlihat adanya
kongesti dan hemoragi di kulit , hati, jantung dan ginjal. Juga adanya
transudasi dan nekrosis. Perubahan yang terjadi pada kasus virus yang sangat
patogenik tidak jelas terlihat karena hewan mati mendadak sebelum lesi
berkembang (Jordan, 1990).
Perubahan
mikroskopis
Adanya lesi yang di timbulkan
oleh fowl plaque di tandai oleh adanya edema, hiperima, hemorgik dan
perivascular cuffing sel limfosid, terutama pada miokardium, limpa, paru, otak,
balung dan dengan frekuansi yang lebih rendah pada hati dan ginjal. Perubahan
degenerasi dan nekrosis dapat di temukan pada limpa, hati dan ginjal. Lesi pada
otak meliputi foki nekrosis, perivasculer cuffing sel limfoid, gliosis,
proliferasi pembuluh darah dan degenerasi/nekrosis neuron. Virus Avian
Influenza yang sangat patogenik kerapkali menimbulkan nekrosis miokardium dan
miokarditis.
Perubahan
histopatologik yang disebabkan oleh virus HPAI mempunyai sejumlah persamaan dan
perbedaan dengan lesi yang ditimbulkan oleh fowl plaque. Perubahan
histopatologik pada ayam yang terinfeksi secara alami dengan virus Avian
Influenza subtipe H5N2 (tergolong virus HPAI) meliputi ensefalitis;miositis
nekrotikan subakut yang bersifat sangat ringan sampai berat pada berbagai otot
skelet, terutama otot okuler eksternal dan otot paha. Perubahan histopatologik
biasanya lebih parah pada ayam pedaging di bandingkan dengan petelur.
Diagnosis Penyakit
Dengan adanya gejala klinik dan
perubahan patologik yang bervariasi, maka diagnosa definitif hanya di dasarkan
atas isolasi dan identifikasi virus. Diagnosa sangkaan dapat di dasarkan atas
riwayat kasus, gejala klinik, perubahan patologik dan tidak ada penyakit
pernafasan lainnya. Isolasi virus dapat dilakukan pada telur ayam bertunas umur
10 - 11 hari menggunakan jaringan trakea dan atau kloaka dari unggas yang mati
/ hidup oleh karena virus Avian Influenza berreplikasi di dalam saluran
respirasi dan atau pencernaan. Pemeriksaan serologik dapat dilakukan untuk
mengetahui adanya pembentukan antibodi terhadap virus Avian Influenza A yang
dapat di amati pada hari ke-7 sampai ke-10 pasca-infeksi (Tabbu, 2000).
Pemeriksaan serologik yang sering
di lakukan adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI) untuk mengetahui adanya
antibodi terhadap hemaglutinin (H) dan agar gel presipitasi (AGP) untuk
mengetahui adanya antibodi terhadap neuramidase (N). Uji serologik lain yaitu
netralisasi virus (VN), neuromidase-inhibition (NI), enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA), antibodi monoklonal dan hibridisasi in situ.
Pemeriksaan dengan teknik imunofluorescence langsung untuk mengetahui adanya
virus Avian Influenza atau virus protein dari contoh jaringan kerapkali
digunakan untuk melakukan diagnosa dengan cepat. Penyakit yang mirip dengan
Avian Influenza adalah Newcastle disease (ND), Pigeon Paramyxovirus, Infectious
Bronchitis (IB), Swolien Head Syndrome (SHS), Avian Mikoplasmosis (Tabbu,
2000).
Uji indeks patogenitas
intraserebrum dan indeks patogenitas intravena, masing-masing pada anak ayam
umur satu hari dan ayam umur enam minggu bisa menentukan tingkat virulensi.
Karena virulensi virus Avian Influenza sebagian besar terkait dengan kemampuan
yang luas dari sel inang untuk menyibak hemaglutinin virus, terbentuknya plak
pada tipe sel yang permisif bagi virus virulen tetapi tidak permisif bagi virus
yang tidak virulen dapat juga digunakan untuk menilai virulensi (Easterday et
al., 1997).
Pengendalian dan
Pengobatan
Pengendalian awal bertujuan
mencegah masuknya virus Avian Influenza pada unggas. Tindakan legislatif
meliputi karantina dan pengetatan perdagangan unggas dan produknya (tidak berlaku
bagi unggas liar) (Easterday et al., 1997).
Pengendalian penyakit juga dapat
dilakukan dengan memperbaiki sanitasi dan biosekuriti peternakan, yang termasuk
hal tersebut adalah membatasi keluar masukya pekerja kandang, melakukan
desinfektan terhadap alat-alat kandang dan kandang serta mengontrol yang akan
masuk ke peternakan apakah terserang virus atau tidak (Anonim, 2006).
Avian Influenza tidak dapat di
obati; pemberian antibiotik/antibakteri hanya ditujukan untuk mengobati infeksi
sekunder oleh bakteri atau Mycoplasma. Disamping itu, perlu juga dilakukan
pengobatan suportif dengan multivitamin untuk membantu proses rehabilitasi jaringan
yang rusak (Tabbu, 2000).
Wabah HPAI eksotik dapat
diberantas dengan menerapkan program yang intensif meliputi diagnosa cepat,
membunuh dan membuang kawanan ayam yang terinfeksi, mengkarantina daerah yang
tercemar dan pengawasan terus-menerus dengan membuang ayam yang menunjukkan
adanya antibodi terhadap AI. Pembatasan pemindahan ayam dan produknya dari
daerah terinfeksi harus diterapkan (Anonimus, 2006).
Di daerah yang sumber dayanya
kurang sehingga eradikasi terhalang, kawanan ayam dapat diimunisasi dengan
menggunakan vaksin inaktif autogenous atau produk recombinant vector.
Vaksinansi akan menekan timbulnya penyakit secara klinis, tetapi virusnya tetap
hidup dan bertahan pada populasi unggas di daerah tertular. Jika terjadi
letupan virus Avian Influenza, sebaiknya dilakukan depopulasi pada unggas di
daerah yang terkena meskipun infeksi terjadi oleh virus Avian Influenza yang
mempunyai virulensi rendah. Setelah depopulasi, semua unggas dan produknya,
termasuk feses harus dibakar atau diinsinerasi pada tempat khusus. Disamping
depopulasi juga dilakukan karantina untuk mencegah penyebaran virus Avian
Influenza ke peternakan atau daerah lainya. Proses eradikasi biasanya meliputi
karantina, depopulasi, memusnahkan dan membersihkan unggas dan
alat/perlengkapan yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Akoso,
B T. 1993.
Manual kesehatan unggas, Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluhan dan Peternak. Cetakan
1. Penerbit Kanisius . Yogyakarta.
Anonim.2004. Avian Influenca In National
Animal Health Information System . http/www.aahc.com.au/nayis/disease/AI.htm
Anonim.2006. Avian Influenza. htp://www.litbang.deepkes.go
id/maskes/05.
Easterday,
B. C. Virginia S. Hinshaw, and David A. Halvorson. 1997. Influenza:in Disease of Poultry.
Tenth edition. Lowa State University Press. Pages : 583-605
Fenner,
J. F, E. P. J. Gibbs, F. A. Murphy, R. Rott, M. J. Student, and D. O. White.
1993. Virologi
Veterinar. Penerjemah : D. K. H. Putra, K. G. Syaryana. IKIP Semarang Press.
Semarang. Pages : 546-569.
Jordan,
F. T. W. 1990.
Poultry Disease. Third edition. E. L. B. S. ( English Language Book Society )
Hal : 137-144.
Tabbu,
C. R. 2000.
Penyakit Ayam dan Penanggulanganya Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral. Cetakan
Pertama, Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Whiteman,
C. E. and A. A. Bickford. 1983.
Avian Disease Manual. Second editions. University of Pennsylvania, New Bolton
Center. Pennsylvania.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar